Apakah Direktur Narsis Masih Peduli dengan Penghindaran Pajak? Ini Temuannya!
05 Mei 2025
84
Suka
Dalam dunia korporasi, kepribadian pemimpin sering mempengaruhi keputusan strategis, termasuk dalam urusan pajak. Dosen Akuntansi UBAYA, Ibu Permata Ayu Widyasari, S.A., MBA. melakukan penelitian untuk menguji apakah direktur utama yang memiliki sifat narsis cenderung melakukan penghindaran pajak. Dalam konteks ini, sifat narsis yang dimaksud merujuk pada tingkat kepercayaan diri yang tinggi serta keinginan untuk mendapatkan pengakuan dan citra positif di mata publik. Menariknya, hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa narasi umum ini tidak lagi relevan di tengah ketatnya pengawasan perpajakan di Indonesia.
Direktur Utama Narsis Tak Lagi Tertarik Hindari Pajak
Narsisme direktur utama tidak berpengaruh secara signifikan terhadap penghindaran pajak. Direktur dengan kepercayaan diri yang tinggi, cenderung lebih fokus menjaga reputasi daripada mengambil resiko dikenai sanksi pajak. Hal ini menunjukkan bahwa efek jera dari kebijakan pemerintah telah mengubah orientasi pengambilan keputusan para eksekutif.
Sifat narsisme pada direktur utama bukan lagi faktor dominan dalam penghindaran pajak. Kebijakan fiskal seperti pengampunan pajak, pertukaran data internasional, dan sanksi berat telah menciptakan efek jera yang kuat. Kini, indikator seperti intensitas modal dan profitabilitas lebih relevan untuk menganalisis resiko penghindaran pajak. Oleh karena itu, pembuat kebijakan dan otoritas pajak harus menyusun strategi pemeriksaan yang lebih akurat dengan pada berbasis indikator objektif.
Peran Direktur Keuangan Tak Bisa Diabaikan
Pengaruh direktur utama tidak bisa dilepaskan dari peran direktur keuangan. Dalam sistem tata kelola two-tier seperti di Indonesia, keputusan perpajakan sangat bergantung pada sinergi antara kedua pimpinan ini. Maka dari itu, kepribadian dan kompetensi direktur keuangan menjadi faktor krusial dalam praktik tax planning perusahaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa direktur keuangan dengan kompetensi tinggi dan kepribadian yang tepat dapat memperkuat pengambilan keputusan pajak yang lebih hati-hati dan sesuai regulasi.
Teori Upper Echelon Mulai Terkikis
Teori upper echelon menyatakan bahwa keputusan perusahaan merefleksikan karakter top manajemen. Dalam konteks penghindaran pajak, teori ini mulai kehilangan relevansi karena faktor eksternal seperti pengampunan pajak dan pertukaran informasi keuangan internasional ternyata lebih berpengaruh dibanding kepribadian direktur.
Intensitas Modal Jadi Indikator Potensial Penghindaran Pajak
Intensitas modal berkontribusi signifikan terhadap penghindaran pajak melalui perolehan aset atau revaluasi aset dalam usaha untuk memunculkan beban penyusutan yang tinggi, sehingga pada akhirnya menurunkan laba kena pajak. Hal ini menjadi indikator penting bagi fiskus dalam mendeteksi potensi tax avoidance.
Pertumbuhan Penjualan Tidak Berpengaruh
Pertumbuhan penjualan tidak berpengaruh terhadap penghindaran pajak. Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun pendapatan meningkat, perusahaan tidak otomatis melakukan strategi yang agresif dalam perpajakan. Yang lebih menentukan adalah struktur biaya dan kebijakan investasi perusahaan.
Sebaliknya, rasio laba terhadap ekuitas (ROE) menunjukkan dampak positif terhadap penghindaran pajak. Perusahaan yang lebih profitable cenderung berupaya menekan beban pajaknya agar dapat menjaga efisiensi dan meningkatkan arus kas. Hal ini membuktikan bahwa insentif ekonomi tetap menjadi pendorong utama dalam strategi penghindaran pajak.
Peran Direktur Keuangan Tak Bisa Diabaikan
Pengaruh direktur utama tidak bisa dilepaskan dari peran direktur keuangan. Dalam sistem tata kelola two-tier seperti di Indonesia, keputusan perpajakan sangat bergantung pada sinergi antara kedua pimpinan ini. Maka dari itu, kepribadian dan kompetensi direktur keuangan menjadi faktor krusial dalam praktek tax planning di perusahaan.
*Note:
Ulasan di atas merupakan rangkuman dari:
Widyasari, P. A., & Gunawan, M. P. (2023). Apakah penghindaran pajak penting bagi narsisme direktur utama? Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 14(1), 1–12.