CSR dan Resiko Perusahaan: Mengungkap Perbedaan Dampaknya Pada Industri Kontroversial dan Non-Kontroversial
11 Mei 2025
157
Suka
Di tengah tekanan bisnis yang semakin kompleks, Corporate Social Responsibility (CSR) menjadi strategi penting untuk meningkatkan keberlanjutan dan citra perusahaan. Namun, benarkah semua industri merasakan dampak positif yang sama dari aktivitas CSR, khususnya dalam mengurangi resiko perusahaan? Penelitian yang dilakukan dosen Akuntansi UBAYA, Dr. Rizky Eriandani S.E., M.Ak, dan dosen Manajemen UBAYA, Prof. Dr. Dra.ec. Liliana Inggrit Wijaya, M.M., RFP-I., CFP., AEPP., QWP., CIB., CRP., menyoroti perbedaan yang mencolok antara industri kontroversial dan non-kontroversial dalam merespons CSR terhadap resiko perusahaan di Indonesia.
Penelitian tersebut menganalisis 927 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2016 hingga 2019. Hasilnya menunjukkan bahwa kinerja CSR secara umum mampu menurunkan resiko perusahaan, namun efek tersebut hanya dirasakan secara signifikan di industri non-kontroversial. Industri kontroversial seperti tembakau, senjata, dan alkohol tidak merasakan manfaat CSR dalam mengurangi resiko, yang diduga disebabkan oleh stigma negatif dari para shareholders.
Dalam model regresi, kinerja CSR berbanding terbalik secara signifikan dengan resiko perusahaan (diukur dengan volatilitas return harian dan beta saham), khususnya pada dimensi lingkungan, produk, dan sumber daya manusia. CSR di bidang komunitas pun berdampak, meskipun lebih lemah. Artinya, perusahaan yang aktif dalam CSR dan mengkomunikasikannya secara luas, cenderung memiliki tingkat resiko yang lebih rendah.
Namun, ketika industri dikategorikan sebagai kontroversial, efektivitas CSR menurun tajam. Interaksi antara variabel CSR dan kategori industri menunjukkan bahwa CSR di industri kontroversial tidak mampu menurunkan resiko secara signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun perusahaan dalam industri tersebut mengeluarkan lebih banyak laporan CSR, dampaknya kurang dirasakan oleh pasar dan shareholders.
Penelitian ini juga menemukan bahwa masyarakat cenderung tidak memberikan legitimasi penuh pada CSR dari industri kontroversial, terutama jika aktivitas CSR tidak terkait langsung dengan bisnis utama atau tidak menyelesaikan dampak negatif yang ditimbulkan. Misalnya, kegiatan CSR yang dilakukan oleh perusahaan tembakau seringnya hanya dianggap sekedar pencitraan, bukan sebagai upaya nyata dalam memperbaiki dampak sosial.
Di sisi lain, perusahaan non-kontroversial mampu membangun kepercayaan dan dukungan pemangku kepentingan melalui CSR, sehingga mampu mengurangi ketidakpastian dalam bisnis. Hal ini diperkuat dengan hasil uji robust yang konsisten, menunjukkan CSR berdampak negatif terhadap resiko, bahkan setelah diuji dengan menggunakan ukuran resiko yang berbeda (beta saham).
Temuan ini cukup penting bagi regulator dan manajemen perusahaan. Meskipun CSR terbukti bermanfaat dalam menurunkan resiko, dampaknya sangat bergantung pada jenis industri dan persepsi publik. Pemerintah perlu membuat kebijakan yang mendorong CSR dilakukan secara relevan dan terintegrasi dengan bisnis utama, terutama di industri yang secara alami memiliki dampak sosial atau lingkungan yang tinggi. Jika CSR dilakukan secara strategis dan otentik, perusahaan kontroversial sekalipun dapat memperoleh manfaat dalam hal pengurangan resiko.
*Note:
Ulasan diatas merupakan rangkuman dari:
Eriandani, Rizky., Wijaya, Liliana I. (2021). Corporate Social Responsibility and Firm Risk: Controversial Versus Noncontroversial Industries. Jurnal Akuntansi, 12(1), 11–22.