Komunikasi Keberlanjutan: Perbedaan Strategi di Perusahaan Hijau dan Non-Hijau pada Era Digital
02 September 2025
20
Suka
Isu krisis terhadap iklim dan kesadaran publik terhadap keberlanjutan semakin mendorong perusahaan untuk tidak hanya menjalankan bisnis yang berorientasi pada profit, namun juga memperhatikan aspek sosial dan lingkungan. Komunikasi keberlanjutan (corporate sustainability communication/CSC) menjadi sarana penting bagi perusahaan untuk menyampaikan inisiatif dan komitmen keberlanjutan mereka kepada para pemangku kepentingan. Dosen Akuntansi UBAYA, Ibu Sintia Farach Dhiba, MIB dan Ibu Dianne Frisko Koan, S.E., M.Ak., Ph.D., melakukan penelitian untuk menganalisis perbedaan pola komunikasi keberlanjutan antara perusahaan hijau (green companies) dan non-hijau (non-green companies) di Indonesia. Penelitian dilakukan terhadap 20 perusahaan yang diklasifikasikan berdasarkan skor ESG (Environmental, Social, and Governance) dari CSRHub, dan berfokus pada komunikasi formal melalui laporan keberlanjutan dan komunikasi digital melalui media sosial.
Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa perusahaan hijau lebih konsisten dalam menyusun laporan keberlanjutan formal. Selama periode 2018 hingga 2022, perusahaan hijau menerbitkan 48 laporan, lebih banyak dibandingkan perusahaan non-hijau yang hanya menerbitkan 29 laporan. Ketaatan ini tidak lepas dari regulasi Otoritas Jasa Keuangan (POJK No.51/2017) yang mewajibkan perusahaan publik untuk menyusun laporan keberlanjutan. Meski begitu, perusahaan hijau tampak lebih proaktif dalam menjadikan laporan tersebut sebagai bagian integral dari strategi komunikasi, bukan hanya sekadar pemenuhan kewajiban.
Analisis terhadap surat dewan direksi dan dewan komisaris menunjukkan bahwa perusahaan hijau lebih sering menyinggung isu keberlanjutan. Hampir semua perusahaan hijau memasukkan istilah "sustainability" beserta rincian upaya yang dilakukan, sedangkan perusahaan non-hijau cenderung hanya menyebutkan secara singkat atau bahkan sama sekali tidak menyinggung topik tersebut. Hal ini menandakan bahwa pimpinan perusahaan hijau lebih sadar akan pentingnya membangun citra keberlanjutan di mata investor dan publik.
Dari segi industri, sektor pertambangan, minyak, dan gas menunjukkan hasil yang unik. Ada perusahaan dalam sektor ini yang berhasil masuk kategori hijau dengan skor ESG yang tinggi, sementara yang lain justru termasuk non-hijau. Hal ini terjadi karena sifat industri ekstraktif yang sensitif terhadap isu lingkungan, sehingga perusahaan dengan kepatuhan yang tinggi terhadap keberlanjutan mampu menonjol secara positif. Sebaliknya, agroindustri banyak mendominasi kategori non-hijau karena lemahnya regulasi terkait keberlanjutan di sektor tersebut.
Dalam hal komunikasi digital, perusahaan hijau lebih aktif dalam menggunakan media sosial. Hampir semua perusahaan hijau mengelola akun di berbagai platform, seperti Instagram, Facebook, LinkedIn, dan Twitter dengan jumlah pengikut yang jauh lebih besar dibandingkan perusahaan non-hijau. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan hijau tidak hanya berfokus pada komunikasi satu arah melalui laporan tahunan, namun juga berusaha membangun interaksi dua arah dengan stakeholder melalui media digital.
Meskipun perusahaan hijau lebih aktif di media sosial, konten keberlanjutan yang benar-benar muncul dalam profil (bio) akun media sosial masih terbatas. Hanya sebagian kecil perusahaan hijau yang menyebutkan komitmen keberlanjutan secara eksplisit pada bagian bio mereka, sedangkan di kelompok non-hijau hampir tidak ada. Fakta ini sesuai dengan temuan sebelumnya bahwa perusahaan lebih banyak mengungkapkan isu keberlanjutan melalui laporan formal dibandingkan media sosial.
Faktor regulasi menjadi pendorong utama keterbukaan informasi keberlanjutan, khususnya di laporan formal. Namun, untuk komunikasi melalui media sosial, belum ada dorongan regulatif yang kuat di Indonesia. Akibatnya, hanya perusahaan hijau yang secara sukarela melakukan investasi yang lebih besar untuk membangun komunikasi digital terkait keberlanjutan, sedangkan perusahaan non-hijau masih sangat terbatas.
Secara keseluruhan, pola komunikasi perusahaan hijau menunjukkan strategistakeholder information yang kuat, yakni komunikasi satu arah melalui laporan resmi, serta mulai melangkah ke arah stakeholder response dengan memanfaatkan media sosial. Namun, dalam penelitian ini belum ditemukan bukti nyata terkait keterlibatan stakeholder secara penuh (stakeholder involvement) karena interaksi mendalam melalui media sosial masih jarang dilakukan.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa perusahaan hijau di Indonesia lebih unggul dalam hal komunikasi keberlanjutan dibandingkan perusahaan non-hijau. Keunggulan tersebut terlihat dari konsistensi dalam menerbitkan laporan keberlanjutan, keseriusan pimpinan perusahaan dalam menyinggung isu sustainability, serta pemanfaatan media sosial untuk menjangkau publik. Namun, masih terdapat tantangan dalam mengoptimalkan media sosial sebagai sarana komunikasi dua arah yang lebih interaktif. Untuk mendorong perkembangan lebih lanjut, sebaiknya regulator di Indonesia tidak hanya mewajibkan laporan formal, namun juga memberi insentif bagi perusahaan agar lebih terbuka dan responsif dalam komunikasi digital terkait keberlanjutan.
*Note:
Ulasan di atas merupakan rangkuman dari:
Dhiba, S. F., & Koan, D. F. (2024). CORPORATE SUSTAINABILITY COMMUNICATION OF GREEN AND NON GREEN COMPANIES IN DIGITAL ERA. Jurnal Aplikasi Akuntansi, 9(1), 200-213.
SPT PPh OP: Panduan Lengkap untuk Wajib Pajak Orang Pribadi
11 April 2025
Mengenal Coretax: Sistem Administrasi Perpajakan Modern di Indonesia
10 April 2025
Ingin Menjadi Seorang Auditor? Simak Persyaratannya!
10 April 2025
Akuntansi UBAYA Berkomitmen Membekali Mahasiswa Dengan Pelaporan Berkelanjutan
09 April 2025
judul2025-04-09 16:02:33
09 April 2025
Kenapa Sih Akuntansi Biaya Penting dalam Pengambilan Keputusan Manajerial?
26 Maret 2025
Belajar Coretax Bersama Ahlinya: Kolaborasi Akuntansi UBAYA Dengan WiN Partners dan Tax Academy Indonesia
26 Maret 2025
Akuntansi UBAYA Berhasil Meraih TOP 5 dalam Perlombaan CFA Institute Research Challenge 2025
26 Maret 2025
Dari Data ke Keputusan: Peran Sistem Informasi Akuntansi dalam Bisnis
24 Maret 2025
Akuntansi UBAYA Kembali Berprestasi di Lomba Karya Tulis Ilmiah eLKTIA 2025
24 Maret 2025
Yuk Kenali Jenis-jenis Anggaran Sektor Publik
21 Maret 2025
Mengenal Cloud Accounting: Solusi Modern untuk Manajemen Keuangan Bisnis
19 Maret 2025
Metafora Kuda Troya dan Akuntansi Inovasi: Meningkatkan Nilai Bisnis dengan TikTok
17 Maret 2025
Blockchain Untuk Akuntansi: Meningkatkan Efisiensi dan Kepercayaan dalam Transaksi
17 Maret 2025
Peran Faktor Psikologis dalam Tindakan Fraud: Menentang Konsep Fraud Triangle
10 Maret 2025
Mengoptimalkan Logistik, Bisnis, dan Akuntansi di Era Digital: Peran Internet of Things (IoT) dalam Bisnis dan Akuntansi
09 Maret 2025
Kolaborasi Program Doktor Akuntansi UBAYA dan Valahia University of Targoviste, Romania: Pelatihan Analisis dan Visualisasi Data oleh Dosen Akuntansi UBAYA
04 Maret 2025
Memahami Accrued dan Deferred dalam Akuntansi: Prinsip Dasar Dalam Pembuatan Jurnal Penyesuaian
04 Maret 2025
Dampak dan Implikasi dari Corporate Action bagi Investor
04 Maret 2025
Job Costing vs Process Costing: Perbedaan, Contoh, dan Aplikasi dalam Akuntansi Biaya
04 Maret 2025
Mengenal Jurnal Umum dan Jurnal Khusus: Perbedaan, Fungsi, dan Cara Memaksimalkan Penggunaannya