Masuk / Daftar
07 Juni 2025
Di tengah meningkatnya krisis lingkungan dan sosial global, perhatian terhadap tanggung jawab sosial (TJS) dan akuntansi lingkungan menjadi semakin penting. Pemerintah dan organisasi dituntut untuk tidak hanya mengejar keuntungan finansial, tetapi juga turut serta dalam menciptakan keadilan sosial dan kelestarian lingkungan. Dalam konteks ini, nilai-nilai kearifan lokal menjadi sumber inspirasi yang potensial untuk pengelolaan yang berkelanjutan. Dosen Akuntansi UBAYA, Ibu Irene Natalia, S.E., M.Sc., Ak., CA., membuat artikel untuk mencoba merefleksikan nilai-nilai luhur tokoh Yudhistira dari kisah Mahabharata sebagai dasar pengelolaan TJS dan akuntansi lingkungan, agar dapat memberikan perspektif baru yang mengintegrasikan budaya dan etika ke dalam praktek akuntansi modern.
Salah satu kontribusi utama dari artikel ini adalah penekanan pada kelima nilai utama Yudhistira, yaitu moralitas, menolong, kemampuan bekerja sama, kerendahan hati, dan simpatik, yang dijadikan lensa untuk menganalisis kebijakan dan praktik TJS di Indonesia. Nilai moralitas, misalnya, tercermin dalam berbagai regulasi pemerintah yang mengatur tentang kewajiban pelestarian lingkungan oleh perusahaan, seperti UU No. 40 Tahun 2007 dan PP No. 47 Tahun 2012. Konsistensi dan keteguhan pemerintah dalam mengarahkan sektor usaha menuju praktek yang berkelanjutan menjadi wujud nyata dari moralitas dalam tata kelola publik.
Nilai kedua, yaitu menolong, tergambarkan melalui peran aktif pemerintah dalam mendampingi usaha kecil dan masyarakat yang terdampak, seperti program restorasi gambut oleh Kementerian LHK. Pemerintah juga memberi insentif dan panduan pelaksanaan TJS untuk berbagai skala usaha, termasuk individu. Pendekatan ini menunjukkan bagaimana konsep menolong tidak hanya bersifat karitatif, tetapi juga struktural, dengan kebijakan yang memberdayakan dan melibatkan komunitas secara langsung.
Kemampuan bekerja sama menjadi nilai dominan dalam pengelolaan TJS dan akuntansi lingkungan. Pemerintah membangun kemitraan strategis dengan organisasi nasional dan internasional, termasuk OJK, IAI, dan lembaga global seperti G20. Salah satu bentuk konkret dari sinergi ini adalah pengembangan keuangan berkelanjutan dan pelaporan keberlanjutan (sustainability reporting), yang bertujuan untuk mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam pelaporan korporasi.
Kerendahan hati terlihat dari upaya pemerintah untuk menyederhanakan program pelestarian lingkungan tanpa menghilangkan esensi keberlanjutan. Melalui pemberian insentif berbasis kinerja ekologi dan pelaporan kinerja lingkungan, pemerintah mendorong perusahaan untuk mencapai keberhasilan secara bertahap, tanpa menekankan pencitraan atau kemewahan.
Nilai simpatik dalam kebijakan TJS ditunjukkan pemerintah dengan berpartisipasi aktif dalam mendukung program kemanusiaan, pendidikan, dan budaya lokal. Tindakan simpatik ini juga diperkuat oleh pemahaman terhadap karakteristik budaya Indonesia, seperti kolektivisme dan norma sosial yang kuat, sehingga membuat masyarakat lebih menerima dan menghargai program sosial berbasis komunitas.
Dalam ranah akuntansi lingkungan, artikel ini mengungkapkan pentingnya transisi dari teori pemegang saham ke teori pemangku kepentingan. Akuntansi tradisional yang berfokus pada pelaporan keuangan kini berkembang menjadi akuntansi lingkungan yang mempertimbangkan aspek sosial dan ekologis. IAI telah mengadopsi beberapa standar internasional, seperti ISAK 9 dan PSAK 57, serta mendorong integrasi laporan keberlanjutan sebagai bagian dari laporan keuangan.
Selain itu, munculnya pelaporan terintegrasi (integrated reporting) menunjukkan arah baru akuntansi modern yang tidak hanya memuat nilai finansial, tetapi juga sosial dan lingkungan. Evolusi ini didukung oleh kerjasama IAI dengan lembaga internasional seperti IFRS Foundation dan ISSB, serta respons terhadap kebijakan publik seperti POJK No. 51 Tahun 2017.
Ada kontribusi yang signifikan ketika menggabungkan nilai-nilai budaya lokal, dalam hal ini nilai Yudhistira, ke dalam konsep dan praktek TJS serta akuntansi lingkungan. Pendekatan ini menegaskan bahwa pengelolaan tanggung jawab sosial dan lingkungan tidak hanya memerlukan aspek teknis dan regulasi, tetapi juga integritas moral dan kebijaksanaan etis. Dengan menjadikan Yudhistira sebagai metafora pemimpin ideal, dapat diperoleh kerangka kerja yang relevan untuk menjawab tantangan yang kompleks pada era modern, sekaligus memperkaya wacana akuntansi dengan nilai-nilai lokal yang universal.
*Note:
Ulasan di atas merupakan rangkuman dari:
Natalia, I. (2022). Refleksi Yudhistira dalam Tanggung Jawab Sosial dan Akuntansi Lingkungan. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 13(1), 42-59.
Download full artikel:
https://doi.org/10.21776/ub.jamal.2021.13.1.04
Populer